Aku melamun duduk di depan hamparan ombak. Menunggu matahari terbenam di perbatasan cakrawala. Ini bukan hari libur, jadi tempat ini tidak ramai. Tempat ini sepi. Angin dan ombak saling bertukar suara. Sementara pasir diam dan, terkadang, pasrah terbawa angin. Sangat berbeda rasanya bila kita sedang menunggu. Satu detik seperti dilipatgandakan menjadi seratus ribu. Matahari sedang tenggelam di cakrawala dan aku sedang melamun. Mempertanyakan apa yang sudah aku mulai dan tidak bisa aku hentikan. Suatu ironi. Waktu terlalu sedikit dan penuaan datang setiap hari. Aku sudah tidak punya waktu lagi. Matahari tenggelam, baru saja, di bawah cakrawala. Dari sini terlihat seperti lautan yang menelannya. Aku ingin menjadi lupa, aku ingin menjadi tidak ingat, aku ingin menjadi tidak pernah ada. Masalahnya, buat apa dan bisa apa berbagai kontradiksi dan ironi yang berada terhadap sesuatu yang tidak ada atau tidak pernah ada? Tidak ada! Aku membayangkan aku melompat ke laut dan membiarkannya menelanku hidup-hidup. Dimakan hiu, tercerai-berai, terurai, hilang. Tapi aku tidak bisa.
Jadi aku akan hidup lagi (untuk) besok, dan besoknya lagi, dan besoknya lagi, besok dari besoknya lagi, besoknya setelah besoknya besok lagi. Untuk kembali terdiam, melamun, bertanya, kebingungan, dan membayangkan bila aku melompat ke laut; terurai, tercerai-berai, dan hilang dari muka bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar